Saturday, September 19, 2009

Globalisasi Lokal atau Birokratisasi Adat Manggarai

PESTA dan rangkaian ritual peresmian Kantor Bupati Kabupaten Manggarai yang baru (29/7/2009) yang konon memakan waktu dan dana besar di Ruteng, sudah berlalu, namun bopeng-bopeng kesan dan pesan tetap menggema. Saya hanya mengikutinya melalui koran lokal Pos Kupang dan Flores Pos. Sdr Kanis Bana dari Pos Kupang dan Sdr Anton Pandong ditambah opini Frans Obon dari Flores Pos dan opini pengamat adat Manggarai Frans Anggal memberikan beberapa ilustrasi menarik. Kedua penulis terakhir memberikan sebuah wacana kritis antara kegiatan/aksi sesaat dan refleksi tentang substansi adat, termasuk variasi reaksi masyarakat.

Anggota DPRD yang merupakan representasi dari rakyat Manggarai sangat berkeberatan, namun seperti biasa otoritas eksekutif lebih kuat, suara rakyat dianggap angin lalu. Padahal, mereka mengkritisi langkah dan kebijakan yang dilakukan Bupati Manggarai untuk membagi gendang (rumah adat) kepada Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai Timur pasca pemekaran. Pembagian rumah gendang yang biasa disebut cahir gendang (pembagian kekuasan dari sisi budaya) bisa saja dimanfaatkan pihak lain. Kita tidak tahu siapa 'pihak lain' yang dimaksud salah seorang anggota DPRD itu di dalam rapat paripurna. Patut dicatat, bagi masyarakat adat, apa yang diungkapkan anggota DPRD itu, patut dicermati karena ternyata seperti yang dilansir oleh dua penulis di atas 'pemanfaatan pihak lain', ditafsirkan, 'ada juga yang bilang ini politisasi budaya dan mobilisasi tokoh adat demi pilkada 2010' atau 'manipulasi adat demi kepentingan 2010'.

Terlepas dari apakah ada atau tak ada udang di balik batu, yang jelas, menarik juga tanggapan Bupati Manggarai Christian Rotok. Melalui pidatonya yang sarat verbalisme adat, dia mengungkapkan, pemekaran dari sisi pemerintahan sudah final dengan adanya SK untuk Kabupaten Mabar dan Matim. Namun dari sisi budaya perlu dilakukan sebuah kegiatan. Dalam perjalanan sejumlah tokoh masyarakat dari dua kabupaten menyampaikan aspirasi terkait dengan hal ini, lalu pemerintah membuka ruang untuk berdiskusi tentang hal ini terutama dalam kaitan dengan budaya. Walau Bupati tidak menjelaskan, apakah semua tua adat secara koor menjawab setuju dengan kegiatan tersebut? Konon, kegiatan ini dihadiri 38 tokoh adat di Kecamatan Langke Rembong juga dari Kabupaten Mabar dan Matim. Pertanyaan kita berapa jumlah seluruh tua adat dari tiga Manggarai versi birokrasi itu? Apakah mereka juga merepresentasi ketua-ketua adat yang lain? Seluruh ritus adat terkait peresmian kantor bupati ditata oleh pemerintah, konon, yang melaksanakan adalah tokoh adat.

Secara historis dan masih kuat dalam ingatan kita, bagaimana reformasi politik 1998 yang mengemban terwujudnya demokratisasi dan desentralisasi. Hal ini juga berdampak pada tuntutan masyarakat adat agar memperoleh kembali haknya yang telah dirampas oleh Orde Baru (Orba) dengan memberi perannya di wilayah komunitas adatnya sesuai dengan kepentingannya. Masa Orba merupakan suatu masa kegelapan bagi masyarakat adat sehingga melahirkan suatu proses marginalisasi di segala bidang. Dengan adanya pemekaran wilayah dalam konteks otonomi daerah, maka revitalisasi adat menjadi harapan masyarakat adat. Namun, untuk sebagian besar wilayah di Indonesia belum memahami makna reformasi, juga dalam bidang masyarakat adat, kecuali Sumatera Barat dan Tana Toraja, dengan peraturan daerah kembali ke struktur adatnya melalui pendekatan revitalisasi.

Birokratisasi Adat
Kembali ke masa lalu, sistem sentralisasi di era Orba berdampak mati surinya pengembangan nilai adat lokal. Secara historis dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Otonomi Daerah, maka masyarakat adat tidak lagi memiliki suatu kekuasaan lokal yang otonom yang menjalankan fungsinya sesuai dengan ekspresi sosial kulturalnya. Pemerintahan desa menggantikan komunitas adat seperti tua teno dengan mengedepankan peran ketua rukun tetangga (RT) dan ketua rukun warga (RW) sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. Kampung (beo) dibagi ke dalam RT dan RT, terjadilah perpecahan internal beo. Persoalan tanah semakin memuncak, perang tanding tak terelakkan lagi. Karena penekanan sentralisasi begitu kuat, maka keragaman seluruh Indonesia menjadi salah satu prasyarat pusat menguasai daerah.

Artinya, lembaga adat yang melayani kepentingan komunitasnya kemudian dikebiri dan dijadikan sebagai bagian dari birokrasi pemerintah. Kalaupun lembaga adat asli melalui peran tua teno dengan gendangnya masih dibiarkan hidup, tetapi fungsinya dibatasi pada hal-hal yang tidak mengurangi hegemoni negara atas masyarakat lokal. Akibatnya, masyarakat adat menjadi semakin terasing dari lingkungannya dan tidak mempunyai suatu kepemimpinan lokal yang tumbuh dari suasana pertumbuhan adatnya. Lebih jauh, eksistensi dan hak-hak masyarakat adat semakin dipecah-pecah dengan diberlakukan beberapa perundangan dan peraturan berikutnya. Tampaknya marginalisasi ini sengaja dirancang guna memperkuat hegemoni dan kontrol negara dari pusat.

Berhubungan dengan ini, secara implisit sebetulnya ada upaya pemda untuk memahami adat Manggarai ke dalam konteks birokrasi kepemerintahanan. Dalam arti karena tuntutan otonomi daerah untuk memudahkan pelayanan ke masyatakat, Manggarai dimekarkan, dan akibatnya sekarang menjadi tiga kabupaten. Pemikiran birokratis tersebut juga mau diterjemahkan ke dalam konteks adat, padahal semua orang sadar, Manggarai tetap satu dalam konteks adat istiadat dan tidak terpengaruh oleh pembagian wilayah pemerintahan. Di sinilah salah pangkal dan salah sasaran pembangunan di tiga Manggarai ke depan. Tiga kabupaten semakin tidak lagi memahami bahwa mereka sebetulnya disatukan oleh kesatuan adat dari Wae Mokel sampai Selat Sape. Dalam konteks pendekatan inilah, inti refleksi tulisan ini. Tulisan ini tidak ditinjau dari kacamata substansi adat, saya bukan ahli di bidang itu, tetapi ditinjau dari segi struktur berpikir kita tentang pendekatan adat yang berkembang secara proses alamiah dari bawah (komunitas adat) atau pendekatan birokratis (dari atas) yang gampang direkayasa.

Dengan kata lain, dalam konteks historis dan kekinian, secara sederhana boleh dikatakan, apa yang dilakukan oleh Kabupaten Manggara adalah birokratisasi adat. Padahal, birokratisasi adat sejak Orba selalu menghambat kemajuan pola pikir yang reformis di bidang budaya. Apa yang disebut 'revitalisasi nilai adat lokal' dianggap tabu. Lantaran birokratisasi tersebut, pengembangan nilai budaya lokal baru sebatas bicara teknik operasional (seperti cahir gendang), bukannya berdasarkan pemikiran fundamental melalui pendekatan dialogis bagaimana memajukan nilai adat Manggarai melalui pusat-pusat adat lokal di beo-beo sesuai dengan tuntutan zaman.

Dengan demikian, pelaksanaan cahir gendang boleh dikatakan implementasi keinginan dan ide penguasa. Para pengambil keputusan atau kebijakan tidak mengindahkan bagaimana proses tua adat (tua teno) harus dilibatkan untuk mengembalikan fungsinya setelah dikaji relevansi dan makna kekiniannya. Pemerintah daerah lebih banyak bersikap reaktif dan bukannya secara sistemik menata kembali nilai adat dalam konteks lokal sesuai tuntutan reformasi.

Kita juga enggan mencari substansi apakah nilai adat kita bisa diterapkan atau tidak? Banyak nilai adat kita yang sudah kehilangan maknanya karena tidak ada lagi kultur diskursus wacana pemikiran tentang relevansi adat Manggarai. Misalnya, lagu-lagu Manggarai yang diberi nafas agama seperti buku 'Dere Serani' merupakan bukti sebagai hasil dari upaya melestarikan dan memaknai lagu-lagu adat Manggarai ke dalam nilai religius (inkulturasi). Pater Verheijen (alm), Dami N Toba (alm), Prof Dr. Robert Lawang, Geby Mahal, dan Rofino Kant dan lain-lain merupakan beberapa contoh manusia Manggarai yang mencoba merevitalisasikan nilai adat Manggarai.

Globalisasi Lokal
Pilihan pendekatan memang perlu pemahaman mendalam (pasti diskusinya tak pernah selesai). Orang lebih senang berhura-hura melalui 'rame-rame paki kaba dan caci'. Terus terang, mengapa saya berusaha agar beberapa rumah gendang di Manggarai mendapat dana APBN untuk rehabilitasi rumah adat tersebut dengan nilai masing-masing Rp 20 juta? Pilihan-pilihan seperti ini terkandung maksud bahwa nilai adat kita berakar dan berkembang mulai dari rumah gendang di kampong (beo). Di rumah itulah, masyarakat berdiskusi, mengambil keputusan, dan membuat rencana tentang membangun kampungnya. Sama halnya, mengapa saya berjuang agar Kampung Todo ditata kembali sesuai dengan kesepakatan para ketua adat di sana dengan dana APBN Rp 4,8 miliar? Dengan adanya penataan kembali rumah adat di Kampung Todo, maka keunikannya seperti gendang kulit manusia bisa menjadi keunggulan lokal sehingga Kampung Todo bisa diglobalisasikan. Dia bisa berfungsi dalam konteks globalisasi lokal (glokal) sebagaimana binatang purba komodo. Dalam konteks inilah, relevansi rumah adat bisa bernilai ekonomis. Banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri datang menikmati keunggulan lokal tersebut. Persoalan kita apakah dengan reformasi pemerintah sebetulnya memahami perannya untuk melayani kebutuhan masyarakat? Fungsi pelayanan sudah dinyatakan dalam RUU Kepemudaan, yang akan disahkan dalam pertengahan September ini, yang intinya pemerintah pusat dan pemerintah daerah berfungsi melayani kebutuhan para pemuda.

Kembali ke masalah inti, kita mengharapkan sekarang, apakah pemda berani bertindak sebagai fasilitator untuk merevitalisasi nilai adat melalui pemberdayaan peran masyarakat adat. Peran masyarakat adat ini sedemikian penting dilakukan sehingga masuk dalam agenda Unesco (PBB) dengan mengadvokasi menguatnya organisasi masyarakat adat dan akses mereka dalam mengembangkan komunitasnya dari berbagai aspek seperti aspek ekonomi, sosial-kultural sampai dengan politik. Selain itu, terbangunnya akses organisasi dan masyarakat adat dalam mendayagunakan hak ulayat, sumberdaya ekonomi lokal dan kerja sama dengan pemerintah dalam melakukan pembangunan komunitas, maupun dengan sektor swasta yang mengembangkan investasi di daerah. Tidak ketinggalan masyarakat adat pun ke depan dituntut untuk mempunyai kepedulian dengan agenda nasional dan global terhadap semangat demokrasi, HAM dan pluralisme selaras antara gerakan lokalisme dengan globalisme. Karena itu, tiga pimpinan Manggarai dan para anggota DPRD di tiga kabupaten versi birokrasi perlu menyamakan visi tentang membangun Manggarai berbasis budaya lokal melalui perda juga memberikan peran kepada komunitas adat. Membangun satu Manggarai dalam satu-kesatuan adat perlu dilaksanakan dalam satu grand design karena tidak menghalangi membangun masing-masing tiga Manggarai versi pemekaran dalam konteks otonomi daerah. *

(Oleh Cyprianus Aoer)

* Anggota DPR RI asal Manggarai .....................sumber: Pos-Kupang

No comments:

Post a Comment

LAGU INDO-BARAT

1. Bad Man