Saturday, July 24, 2010

14 September CREDO Dilantik

manggarai.go.id

Pasangan Drs. Christian Rotok-DR.Deno Kamelus, SH.MH (CREDO) yang tepilih pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Manggarai 2010 Juni lalu dipastikan akan dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Manggarai periode 2010-2015 tanggal 14 September 2010 mendatang. Kepastian pelantikan CREDO ini disampaikan Juru Bicara Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Manggarai, Kony Syukur kepada media ini belum lama ini.

Kony mengatakan, KPUD bersama DPRD Manggarai saat ini tengah mengajukan pengusulan pelantikan Calon Bupati dan Wakil Bupati Manggarai terpilih tersebut kepada Departemen Dalam Negeri (Depdagri) melalui Gubernur NTT. “ Kita sudah utus salah satu anggota bersama Ketua DPRD Manggarai untuk membawa usulan pelantikan Buapti dan Wakil Bupati terpilih ke Depdagri melalui Gubernur NTT,” kata Kony.

Kony menjelaskan dalam berkas usulan KPUD itu juga dilampiri amar putusan Mahkama Konstitusi (MK). Amar putusan MK bernomor 40/PHP.D-8/2010 itu berisi tentang putusan MK yang menolak permohonan pemohon dalam sidang sengketa Pemilukada Manggarai 2010 yang dimenangakan oleh KPUD Manggarai.

Kony mengungkapkan, dalam usulannya ke Mendagri, KPUD Manggarai menjadwalkan Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Manggarai periode 2010-2015 tanggal 14 September 2010 mendatang. Pelantikan itu sesuai dengan jadwal pelantikan Bupati dan Wakil Bupati periode sebelumnya yaitu 2005-2010. Dengan demikian tidak akan terjadi kefakuman kepemimpinan. “Kalau pelantikan melewati tanggal yang kita tetapkan maka akan terjadi lowongan kepemimpinan daerah. Karena itu kita tetapkan sesuai akhir masa jabatan Buapti dan Wakil Bupati periode sebelumnya,” jelas Kony.

Sementara itu Kabag Humas Pemkab Manggarai, Apri Laturake, SH mengatakan, Pemkab Manggarai telah membentuk panitia untuk pelantikan Bupati dan Wakil Bupati tersebut. Saat ini tengah dilakukan berbagai persiapan menjelang pelantikan 14 September 2010 mendatang. Apri mengaku, Panitia Pemkab sudah siap mensukseskan acara tersebut.*** (Tadeus Tanggang)

Friday, July 16, 2010

Senapan Gas dan Listrik untuk Satpol PP NTT

VIVAnews - Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi Nusa Tenggara Timur telah menganggarkan dana sebesar Rp50 juta lebih untuk pembelian dua unit senjata Black Guard SS tipe gas lima shot revolve sepanjang 170 milimeter (mm) -- meski mendapat tentangan dari anggota dewan.

“Dana untuk pembelian senjata sudah ada dan dalam proses tender. Sudah ada perusahaan yang melakukan penawaran,” kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja NTT, Yohanes Hawula di Kupang, Jumat, 9 Juli 2010.

Yohanes berdalil, dua jenis senjata yang dibeli tidak termasuk senjata api karena fungsinya hanya untuk menyemprot gas air mata.

“Anggota Pol PP hanya memiliki pentungan. Tameng pun tidak ada. Dengan adanya dua senjata penyemprot gas maka fungsi dan peran polisi pamong praja akan lebih optimal," kata dia.

Ditambahkan Yohanes, SatPol PP NTT secara bertahap juga akan mengadakan senjata peluru gas dan alat kejut listrik.

Dia berdalih senjata-senjata itu penting. Sebab, tugas Satpol PP selalu berhadapan dengan massa, karenanya membutuhkan perangkat dan fasilitas pendukung yang memadai.

“Karena itu, senjata api juga diperlukan, tapi penggunaannya harus dikendalikan secara baik. Yang berhak menggunakan senjata yakni Kasat, kepala seksi dan komandan pleton atau regu," katanya.

Sementara, Anggota DPRD NTT dari Fraksi PDI Perjuangan, Antonius Landi, yang dihubungi di Kupang, mengatakan, fungsi dan peran polisi pamong praja hanya sebatas mengamankan pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) dan melakukan penyidikan terhadap PNS.

“Untuk apa menggunakan senjata?,” kata Antonius.

Menurutnya, Satuan Polisi Pamong Praja NTT pernah mengusulkan anggaran untuk pengadaan perangkat pendukung seperti seragam dan fasilitas lainnya, tetapi tidak ada usulan untuk pembelian dua unit senjata penyemprot gas air mata.

“Nanti saya akan cek kembali anggaran yang diusulkan,” lanjutnya.

Dia berharap, rencana pembelian senjata yang sudah memasuki tahapan tender ini dapat ditinjau kembali, karena apabila polisi pamong praja mempersenjatai diri maka dikawatirkan akan terjadi gengsi satuan yang mengarah kepada konflik dengan aparat keamanan lainnya.

“Kalau polisi pamong praja mempersenjatai diri, siapa yang mau ditembak? Karena sesuai aturan pendekatan yang dilakukan oleh Pol PP bukan dengan senjata, melainkan dengan cara-cara persuasif,” ujarnya.

Laporan: Jemris Fointuna|Kupang

Warga Bajo Temukan 5 Karung Tengkorak Manusia


LABUAN BAJO, POS KUPANG.Com -- Warga Pasar Baru, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), Minggu (12/7/2010) sore digegerkan dengan penemuan lima karung berisi tengkorak manusia.

Tengkorak manusia tersebut ada di dalam karung ukuran 100 kilogram dan dikubur dalam tanah dengan kedalaman sekitar 30 cm. Temuan ini langsung dilaporkan ke pihak kepolisian setempat. Aparat kepolisian telah mengidentifikasi isi lima karung berisi tenggkorak manusia itu.

KSPK Polres Manggarai Barat, Bripka Servans Wangga menjelaskan, tengkorak manusia itu ditemukan saat warga setempat menggali kuburan untuk pemakaman salah seorang warga Pasar Baru yang meninggal dunia.

Pada kedalaman sekitar 30 cm, penggali kubur melihat kabel yang terikat pada karung berwarna putih. Mereka menarik karung tersebut. Saat membuka isinya mereka sangat terkejut karena karung itu penuh dengan tengkorak manusia.

"Ketika warga yang menggali kubur tadi tahu bahwa isi karung itu tengkorak, mereka melaporkan ke dusun dan pihak desa. Pihak desa meneruskan ke polisi. Kami langsung turun ke lokasi setelah mendapat laporan," jelas Servans.

Di TKP, polisi mengangkat karung berisi tengkorak itu. Di luar dugaan ternyata karung tidak hanya satu. Ada lima karung yang seluruhnya berisi tengkorak pada lokasi galian yang sama.
Tengkorak-tengkorak itu dibungkus dengan kain kafan yang kondisi sudah usang karena termakan usia.

Menurut hasil identifikasi polisi, kata Servans, tengkorak itu terdiri dari dua tengkorak ukuran manusia dewasa dan empat tengkorak ukuran manusia kecil atau anak-anak. Satu di antara karung berisi dua tengkorak sehingga jumlah seluruhnya enam tengkorak manusia. Tengkorak- tengkorak tersebut masih dalam keadaan utuh. Diperkirakan, tengkorak ini sudah dikubur dalam waktu lama.

Servans menduga tengkorak-tengkorak ini berasal dari pekuburan lama yang pindah dari wilayah pesisir Labuan Bajo. Pasalnya ada bekas pasir pada karung-karung tersebut.
Setelah mengindenfitikasi polisi bersama masyarakat menguburkan kembali kelima karung tengkorak itu. Namun, polisi masih akan melakukan identifikasi tentang kemungkinan orang-orang yang hilang pada masa lalu. (cc)

Tuesday, July 13, 2010

2011 Bandara Matim Dibangun

BORONG TIMEX ...Masyarakat Manggarai Timur tak perlu lagi ke kabupaten tetangga di Manggarai atau Ngada untuk menikmati jasa penerbangan. Pasalnya, tahun depan Pemkab Manggarai Timur akan membangun bandar udara.

Sesuai rencana, tahun 2011 pembangunan bandara dimulai dengan anggaran yang diajukan sebesar Rp 300 juta khusus untuk kegiatan survey dan study kelayakan pada dua lokasi. Dinas Perhubungan dan Infokom Matim sudah menyiapakan dua lokasi untuk pembangunan bandara tersebut. Hal ini dibenarkan Kepala Bidang Perhubungan Laut dan Udara Dinas Perhubungan dan Infokom Matim, Flavianus Gon, mengatkan hal ini di ruang kerjanya, Jumad (9/7).

Flavianus menjelaskan, sesuai aturan, lokasi yang akan dibangun bandara tersebut harus mendapat rekomendasi provinsi dan pusat. Satu lokasi sebagai cadangan. Pihaknya, kata Flavianus, hanya menyiapkan lokasi dan melakukan study kelayakan. Sedangkan pembangunan bandara menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

Ditanya mengenai dua lokasi tersebut, Flavianus mengatakan, pihaknya belum menginformasikannya kepada publik. "Untuk sementara belum bisa diinformasikan ke publik, namun sudah ada dua lokasi yang kita persiapkan," ujarnya. Namun, lokasi tersebut, lanjutnya, dinilai sangat layak karena memenuhi kriteria pembangunan bandara yakni bebas hambatan, lokasinya luas dan bisa menghubungkan kabupaten di sekitarnya.

"Lahan tersebut milik masyarakat dari suku tertentu yang nanti akan dilakukan pendekatan dan semuanya sudah dianggarkan di tahun 2011 dan muda-mudahan DPRD Matim menyetujuinya," kata Flavianus.

Ia mengatakan, dengan adanya bandara itu, maka akan menjadi peluang dan kemudahan bagi masyarakat Matim karena akan memudahkan mobilitas masyarakat Manggarai Timur sendiri dan daerah di sekitarnya terutama Manggarai dan Ngada.

"Semua kita sudah bicarakan dan rencanakan dengan anggaran sebesar Rp 300 juta untuk survey dan studi kelayakan lokasi. Kalau Dewan setuju kita akan laksanakan semua ini dan selama ini banyak masyarakat yang bicarakan lokasinya. Tapi semuanya tergantung hasil survey dan study kelayakan lokasi. Sesuai rekomendasi yang kita terima dari provinsi untuk buka bandara dan penentuan lokasinya harus dua karena satu sebagai lokasi cadangan," jelas Flavianus.

Paulus, salah satu tokoh masyarakat Manggarai Timur kepada koran ini mengatakan, sangat mendukung rencana pemerintah untuk membangun bandara di Manggarai Timur. Menurutnya, hal itu menjadi suatu kebangaan bagi masyarakat Matim sehingga ia mengharapakan DPRD Matim mendukungnya.

Soal lokasi, Paulus mengatakan, dimana saja tidak menjadi kendala asal layak untuk dibangun bandara. "Saya pikir ini niat baik dari pemerintah, khususnya Dinas Perhubungan dan saya minta DPRD bisa mendukungnya karena ini untuk semua masyarakat," ujarnya.

Dirinya juga mengharapkan masyarakat sekitar lokasi yang sudah ditentukan agar sepenuhnya mendukung dan rela menyerahkan tanahnya, baik tanah pribadi maupun tanah milik ulayat untuk dibangun bandara. "Saya hanya mengajak masyarakat, khususnya masyarakat pemilik lahan agar sepenuh hatinya menyerahkan tanahnya dan intinya di sini tidak ada kepentingan siapa-siapa, tapi untuk kepentingan kita semua," harapnya. (krf3)

Sunday, July 4, 2010

KEHIDUPAN WAE REBO

Oleh Catherine Allerton
Dikutip langsung dari bonus majalah National Geographic Indonesia edisi Desember 2008 : Ekologi dan Budaya Flores Barat.


Wae Rebo adalah satu-satunya desa yang mempertahankan contoh asli rumah bundar beratap jerami (mbaru niang) di seluruh Manggarai. Masyarakat setempat harus disiapkan agar sanggup menerima begitu banyak kedatangan tamu jauh – selain upaya promosi yang intensif.

Amé (Bapak) Huber adalah orang tua yang pemalu dan pendiam. Dia saudara ayah angkat saya dan bertetangga dengan rumah saya di Wae Rebo. Selama bertahun-tahun, sambil ditemani bergelas-gelas kopi manis, dia mengajari saya tentang tanah ini, serta hubungannya dengan masyarakatnya dan kesehatan mereka. Saat saya membawa si sulung, Olive, ke desa itu pada 2005, Amé Huber mengadakan upacara kecil di depan rumahnya. Dia memberi sesajen telur sebagai “tuak” kepada arwah leluhur, meminta mereka menjaga Olive agar selalu sehat dan selamat. Malangnya, pada Juli 2008 Amé Huber meninggal, dan masyarakat Wae Rebo kehilangan salah satu sesepuh mereka yang paling berilmu. Saya ingin mencoba memahami makna kehidupan di Wae Rebo bagi Amé Huber dan sekaligus mengenang sang bapak.

Wae Rebo, sebuah desa dataran tinggi di Manggarai bagian selatan, terletak jauh dari kota Ruteng. Setelah empat jam terguncang-guncang di dalam bus atau truk dari Ruteng, pengunjung tiba di desa pesisir Dintor. Dari sini, jalan menanjak ke dalam pulau, melintasi petak-petak sawah di Sebu dan beberapa desa dataran rendah, sebelum sampai ke Denge. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, menembus pohon kelapa dan cengkih, meneberangi Sungai Wae Lomba, lalu mendaki jalan curam ke dalam hutan. Tiga atau empat jam setelah meninggalkan Denge, pengunjung berbelok. Dari Ponto Nao, mulai terlihat pusat Wae Rebo, sekumpulan rumah yang dibangun berdekatan di tanah desa yang terletak dalam lembah yang dikelilingi gunung-gemunung. Susunan pegunungan ini membuat beberapa orang berkata kepada saya bahwa hidup di Wae Rebo laksana “hidup di dalam panci”


Saya mulai mengunjungi Wae Rebo sejak 1997 dalam rangka melakukan penelitian antropologi, dan tinggal berwama masyarakat itu selama dua tahun. Sawa mewawancarai tu’a gendang (ketua gendang), pemimpin upacara masyarakat, dan tu’a golo (kepala kampung), pemimpin politik. Kedua orang ini memiliki banyak pendapat dan pengetahuan menarik mengenai sejarah dan masa depan Wae Rebo. Namun karena sebagai antropolog saya meyakini bahwa “budaya” juga berarti cara orang bergurau, makan, tidur, atau merawat bayi di samping pembicaraan formal tentang adat. Saya juga sering melewatkan waktu duduk dan mengobrol dengan lelaki, perempuan, dan anak-anak biasa. Dari mereka lah, saya banyak tentang cara menjalani hidup yang baik di Manggarai.


Wae Rebo adalah satu-satunya desa yang mempertahankan contoh asli rumah bundar beratap jerami (mbaru niang) di seluruh Manggarai. Meskipun dulu bertebaran di seluruh wilayah Manggarai, rumah semacam ini sudah punah sebelum awal 1970-an, ketika kebijakan negara mendorong perpindahan desa gunung ke dataran rendah, dan pembangunan rumah kecil berbentuk petak. Bertahannya rumah niang ini tentu saja berkaitan dengan letak Wae Rebo sebagai desa yang relatif terpencil pada masa sekarang ini.

Untuk alasan yang tidak jelas, tetapi berkaitan baik dengan keterpencilan Wae Rebo maupun kekuatan perlindungan arwah leluhur dan penunggu tempat itu, masyarakat Wae Rebo menolak meninggalkan dataran tinggi itu. Saat ini warga Wae Rebo tinggal baik di dataran tinggi maupun rendah di Kombo. Bahkan, sebagian besar waktu mereka dilewatkan untuk melintasi hutan di antara kedua tempat itu dan mereka bergurau bahwa, saat bergerak antara dataran tinggi dan rendah, mereka seperti “orang main ayunan”. Mereka pergi ke Wae Rebo untuk menhadiri upacara besar, memanen kopi, atau membuka ladang baru. Mereka kembali ke Kombo dan dataran rendah untuk ke pasar dan gereja, memanen kemiri, atau menyiangi sawah.


Selama bertahun-tahun, Wae Rebo menerima sejumlah kecil kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara yang tertarik oleh latar pegunungaan dan rumah niang. Bahkan, untuk menggalakkan wisata budaya ke desa itu, pada 1999 Bupati Manggarai saat itu mensponsori pembangunan kembali “rumah gendang” Wae Rebo dalam bentuk rumah niang yang bundar. “Rumah gendang” Manggarai adalah milik bersama suatu marga, dan namanya berasal dari gendang pusaka yang tergantung di tiang utama rumah. Di Wae Rebo – Kombo, masyarakatnya merupakan anggota marga yang sama, keturunan nenek moyang pendiri desa itu, Empo Maro, dan memiliki pantangan makan yang sama (musang), karena itu, desa itu hanya punya satu rumah gendang.


Ironi tindakan pemerintah setempat, yang dulu menganjurkan meninggalkan rumah niang tapi kini malah mensponsori pembangunan ulangnya, tak luput dari pengamatan penduduk desa. Seorang wanita mengeluh, “Niang, niang, niang terus... mengapa semua orang ini tertarik pada niang?” Namun, sebagian besar orang menyambut baik proses rekonstruksi ini dan minat orang luar pada desa mereka. Pembangunan rumah gendang baru melibatkan banyak upacara menarik. Tiang tengah (ngando) rumah baru itu disambut bak pengantin baru, dengan permainan gong, dan barisan wanita berpakaian adat lengkap dengan jamang yang indah. Tiang rumah itu dianggap sebagai “pengantin gunung”, dan begitu dia tiba di tanah desa, ruhnya dipulangkan ke gunung.


Mengingat Wae Rebo dan Kombo adalah dua tempat dengan masyarakat yang sama, tak mungkin memahami kehidupan di Wae Rebo tanpa menyertakan kehidupkan di Kombo. Hubungan antara kedua tempat inilah yang biasanya tidak diketahui wisatawan. Beberapa keluarga membagi anggota keluarganya di kedua tempat itu, pasangan paro baya tinggal di Kombo bersama anak sekolah yang masih kecil, sementara orangtua sang suami tinggal di Wae Rebo bersama anak usia belasan dan dewasa muda. Namun, walau ada hubungan seperti ini, Wae Rebo dan Kombo memiliki suasana dan arti yang sangat berbeda.


Sebagai tempat leluhur yang tua, tanah desa Wae Rebo memiliki beberapa panggung batu, termasuk liké yang mengesankan di depan rumah gendang, dan sompang yang bundar. Warga Wae Rebo berkisah tentang bagaimana punggung batu ini dibangun dengan bantuan penunggu hutan atau darat. Jin ini mirip manusia cantik, memiliki rambut hitam yang sangat panjang, tetapi berjari enam di setiap tangan dan kaki. Jin darat mampu mengangkat batu raksasa dengan satu tangan secara mudah, dan karenanya mempercepat pembangunan panggung batu itu. Setelah membangun panggung, pesta besar diselenggarakan di dalam rumah gendang, dengan perang cambuk sasi dan menabuh lagu (mbata)


Meskipun sering dituturkan secara panjang lebar sebagai hiburan, kisah ini tetap menjadi lambang misteri asal usul panggung batu Wae Rebo, dan pemahaman bahwa manusia berbagi dunia dengan berbagai jin sakti. Seperti sebagian besar orang Flores, penduduk Wae Rebo beragama Katolik, tetapi mereka tetap mengadakan upacara korban untuk arwah leluhur dan jin tanah, dan menafsirkan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu disebabkan oleh jin yang konon “hidup bersama kita serapat daun jagung dan tongkol jagung”. Ketika rumah gendang lama Wae Rebo diruntuhkan, seekor bayi musang ditemukan suatu pagi di perapian lamanya. Saat mendengar ini, teman saya berkata kepada saya, “bagus para leluhur datang mengunjungi kami”. Di masa lalu, leluhur Wae Rebo datang ke desa ditemani seekor musang, dan karenanya musang dipandang sebagai leluhur dan tidak boleh dimakan. Saat pembangunan rumah gendang yang baru, para leluhur dianggap senantiasa hadir, dan anak kecil dijauhkan dari halaman desa, takut kenakalan mereka dihukum oleh leluhur, dengan menjadikan anak-anak tidak sehat.


Berlawanan dengan Wae Rebo, Kombo dibangun di tanah yang disumbangkan oleh sebuah desa lain. Karenanya desa itu tidak memiliki arwah leluhur Wae Rwbo, meskipun orang berkata bahwa para leluhur ini (empo) dapat datang ke Kombo untuk acara-acara penting. Pertemuan di Kombo dicanangkan dengan derak kentungan bambu, bukan memukul gong. Karena dibangun di tanah leluhur desa lain, Kombo tidak memiliki rumah gendang, dan karenanya tak dapat mengadakan penti, ritual tahun baru yang penting. Selama masa penti, hampir semua orang datang dari dataran rendah ke Wae Rebo.


Karena hanya Wae Rebo yang memiliki rumah gendang dan dapat mengadakan penti, orang berkata bahwa hanya wae Rebo yang merupakan “desa” sungguhan (béo). Kombo digambarkan sebagai “pondok monyet” atau hékang- kodé, jenis hunian sementara yang dibangun di ladang, yang dipakai orang untuk menakut-nakuti monyet dan burung agar tidak memakan tanaman. Meskipun orang mengadakan beberapa ritual rumah di dataran rendah, tidak ada ritual pertanian yang diadakan di sawah.


Saya diberitahu bahwa ladang di Wae Rebo harus ditanam secara berkala “kalau-kalau tanahnya menangis”. Saya juga diberitahu bahwa jika pondasi untuk rumah baru digali tanpa lebih dulu mengadakan ritual yang sesuai, tanah akan menjerit, “apa yang kau lakukan? Kenapa kau melukaiku?” Karenanya tanah di Wae Rebo itu dalam banyak segi mirip sosok manusia, memiliki pikiran dan emosi sendiri. Ketika saya menanyai pemimpin ritual Wae Rebo apakah tanah benar-benar dapat berbicara seperti ini, dia menjawab dengan menggebu :


“dia dapat berbicara. Nafsunya. Nafsu tanah ini....jangan mau dibilang orang, bahwa tanah ini tidak memiliki nafsu...tanah punya.”


Nafsu atau kehendak tanah inilah yang terkait dengan kebutuhan mengadakan ritual, terutama ritual pertanian berskala besar yang sering digambarkan sebagai “yang diinginkan tanah”. Nafsu ini juga terkait dengan semacam “energi tanah” (ghas de tana) misterius yang dapat menyebabkan penyakit atau musibah pada manusia. Orang sering membicarakan kematian seorang pejabat pemerintah pada 1960-an setelah dia kembali ke Ruteng, setelah berusaha membujuk warga Wae Rebo untuk meninggalkan desa gunung mereka. Menurut mereka, kematiannya bukan kecelakaan. Dia telah menyinggung “energi tanah”.


Sesepuh Wae Rebo sadar bahwa di banyak desa lain di Manggarai, ritual korban sudah ditinggalkan, atau diubah sehingga tak ada lagi menyertakan acara melempar makanan untuk leluhur. Namun, pemimpin ritual Wae Rebo dengan teguh menentang semua tekanan untuk mengubah praktik ritual. Baginya, ritual leluhur terkait erat dengan nama tempat-tempat desa maupun kesehatan orang yang masih hidup. Dia pernah menguraikan kepada saya tentang suatu rapat Gereja dulu, saat seorang pendeta dan beberapa guru mengusulkan untuk mendirikan “organisasi Katolik” sejati yang menuntut diakhirinya beberapa praktik ritual, seperti melempar makanan. Pemimpin ritual ini menggambarkan perlawanannya terhadap gerakan itu kepada saya.


Sejak 1997, ketika saya pertama mengunjungi Wae Rebo – Kombo, masyarakatnya telah mengalami beberapa perubahan. Pada 2001, badai meniup roboh salah satu rumah niang lama di tanah desa. Sekarang hanya tersisa dua niang asli, mungkin tahun 1920-an, dan orang-orang cemas tentang merawatnya di masa depan, saat ilalang untuk atap semakin sulit ditemukan. Sementara masyarakat berkembang, dan kopi menjadi semakin penting bagi ekonomi setempat, semakin banyak rumah dibangun di Wae Rebo, kebanyakan di atas bukit, jauh dari alun-alun desa utama. Telepon seluler sudah mencapai daerah ini dan gunung Poso Roko yang harus didaki untuk mencapai Wae Rebo kini disebut sebagai tempat terbaik untuk mendapatkan sinyal bagus. Pada awal tahun ini, jalan dataran rendah yang tadinya berbatu yang melintasi Kombo pun diaspal. Kini, dua ojek motor bolak-balik di jalan ini, membawa penumpang turun ke pasar atau ke sawah di Sebu. Orang-orang di Kombo mencemaskan keselamatan anak-anak kecil, yang terbiasa bermain di jalan batu itu. Dulu truk melaju sangat lambat dan kedatangannya terdengar jelas, kini motor melaju terlalu cepat melintasi desa.


Masyarakat itu juga telah berubah. Beberapa pemuda telah bermigrasi untuk bekerja di Bali atau Malaysia, pemudi menikah dengan lelaki dari desa lain, banyak orang meninggal, dan bayi baru dilahirkan. Orang masih mengutamakan jumlah anak yang banyak, meskipun karena semakin banyak perempuan yang menggunakan kontrasepsi untuk mengatus jarak kehamilan, ini sekarang biasanya berarti lima atau enam, tidak lagi sepuluh atau dua belas anak (seperti di masa lalu). Usai pasangan menikah di gereja, ritual pernikahan besar bernama wagal biasanya diselenggarakan di desa mempelai perempuan. Lalu mempelai perempuan berpamitan dengan rumah kelahirannya dengan bersimbah air mata, dan diantar ke desa barunya oleh beberapa kerabatnya sendiri, teman-teman, dan kerabat suami barunya. Perjalanan ini disebut padong, dan sebagian karena pentingnya perjalanan inilah orang menyebut pernikahan antara keluarga sebagai “jalan”. Saat anda berjalan kaki di hutan, orang menunjukkan arah ke berbagai desa ke barat sebagai “jalan Edis” atau “jalan Wihel”.


Pada akhir perjalanan padong, mempelai perempuan dijemput di perbatasan desa mempelai lelaki oleh sekelompok perempuan yang menabuh gong, yang datang untuk “menyambut gadis muda itu”, sebagaimana tiang tengah rumah gendang juga disambut di Wae Rebo. Mempelai perempuan lalu didandani oleh para wanita ini dan diarak ke rumah mempelai pria, di mana dia menandai identitas barunya dengan “berjalan diatas telur” (wegi ruha) yang disimpan dala daun khusus di dasar tangga rumah. Lalu malam itu, setelah pasangan itu telah disambut warga desa, ritual kecil dan akrab diadakan di luar kamar baru pasangan itu. Ini disebut “darah di kaki” (dara wa’i), karena termasuk menandai jempol kaki kedua mempelai dengan darah dari ayam yang dikorbankan.


Saya menggambarkan acara-acara pernikahan karena, dalam kehidupan sehari-hari, orang di Wae Rebo-Kombo sering membicarakan hubungan pernikahan atau “jalan” antara keluarga. Dalam hal ini, mereka mirip dengan sebagian besar masyarakat Manggarai, yang menganggap penting suatu aturan tentang siapa yang boleh atau tidak boleh dinikahi. “Aturan” pernikahan terpenting adalah orang tak boleh tertukar antara kepada kelompok mana keluarganya menerima istri. Memberikan istri kepada suatu kelompok yang pernah memberikan istri kepada kita itu dianggap inses dan dilarang. Sebaliknya, “mengikuti jalan” pernikahan sebelumnya dipandang benar dan baik.

Pernikahan seorang wanita dengan putra saudari ayahnya disebut sebagai tungku atau pernikahan “bergabung”, karena si pengantin perempuan “mengikuti jalan” yang dibuat bibinya. Meskipun Gereja Katolik telah berusaha melarang bentuk pernikahan sepupu ini, orang belum berhasil diyakinkan untuk memandang hal ini sebagai masalah. Sejak saya memulai kerja lapangan di Wae Rebo-Kombo pada 1997, setidaknya empat gadis telah menikahi sepupunya dalam pernikahan tungku. Semuanya wanita berpendidikan, dan dua di antaranya pernah bekerja di toko di Flores.
Hubungan antara suatu keluarga dengan kelompok-kelompok yang terhubung melalui pernikahan juga ditekankan pada saat kematian. Pada September 2008, saya kembali ke Wae Rebo untuk pertama kalinya setelah tiga setengah tahun, untuk menghadiri ritual kematian terakhir (kélas) Amé Huber. Dalam kélas, babi dikorbankan untuk almarhum, menandai “akhir” resmi kehidupannya di desa itu. Mengumpulkan semua kerabat dari berbagai desa adalah cara untuk merayakan berbagai hubungan yang melibatkan Amé Huber, dan cara yang paling sesuai untuk “mengakhiri” keterlibatannya dengan orang yang masih hidup.


Kini Amé Huber akan menjadi seorang leluhur, mendiami pegunungan, makam, dan panggung batu di rumah gunungnya. Dengan cara ini, dia akan menyatu dengan alam Wae Rebo. Saat mengunjungi Wae Rebo, wisatawan mungkin melihat pegunungan itu sebagai latar yang indah untuk rumah niang. Namun bagi warga Wae Rebo, tak ada perbedaan jelas antara lingkungan “alam” dan “budaya”. Panggung batu, sungai, ladang, pohon, dan rumah, hubungan dengan semua entitas ini harus tetap dijaga. Inilah yang menjamin kesehatan dan kebahagiaan di masa mendatang.

Jaksa Tahan 4 Tersangka Baru

Laporan Kanis Lina Bana
RUTENG, Pos Kupang.Com-- Setelah menahan Kepala Dinas (Kadis) Pertanian, Perkebunan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Manggarai, Ir. Ignas Tora, kontraktor pelaksana kegiatan, Chandra Gunawan, dan Penjabat Pembuat Teknis Kegiatan (PPTK), Ir. Kosmas Marut, Rabu (23/6/2010) lalu, aparat Penyidik Kejaksaan Negeri Ruteng, Rabu (30/6/2010), kembali menahan empat orang tersangka baru dalam dugaan korupsi proyek itu.

Kempat tersangka itu, yakni Yosep Burhan Nurdin, Kristo Enggong dan Kristo M (keduanya tim pemeriksa), serta Heri Sia sebagai pelaksana kegiatan. Dengan demikian jumlah tersangka proyek kapal ikan di Manggarai Timur tahun anggaran 2009 dengan total anggaran Rp 906.920.000,00 menjadi tujuh orang. Tujuh tersangka itu sudah dititipkan di LP Carep-Ruteng.

Informasi yang dihimpun Pos Kupang di Kantor Kajari Ruteng, Jumat (2/7/2010), menyebutkan, empat tersangka baru yang ditahan itu sesuai dengan kapasitas dan keterlibatan mereka dalam pelaksanaan kegiatan proyek tersebut.

Tim pemeriksa itu menandatangani berita acara pemeriksaan proyek kapal ikan, padahal proyek itu belum selesai dikerjakan. Empat tersangka baru itu ditahan berdasarkan amanat pasal 21 KUHP, yakni alasan obyektif dengan ancaman hukuman di atas lima tahun, alasan subyektif supaya tersangka tidak mengulangi perbuatannya tidak menghilangkan barang bukti dan tidak melarikan diri.

Untuk diketahui, proyek 30 unit kapal ikan di Kabupaten Manggarai Timur ditengarai bermasalah yang mengakibatkan negara dirugikan Rp 570 juta. Kerugian negara berasal dari mark up harga mesin dan pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan limit waktu yang ditentukan. Dalam kontrak disebutkan item pekerjaan mulai berlangsung dari 23 September 2009 sampai 15 Desember 2009.

Namun penyerahan kapal ikan baru dilakukan 22 Februari 2010 dan 16 Maret 2010. Sementara berita acara selesai pekerjaan dilakukan 15 Desember 2010. (lyn)

Thursday, July 1, 2010

Pengelolaan APBD Manggarai - BPK Temukan Penyimpangan

Laporan Kanis Lina Bana

RUTENG, Pos Kupang.Com-Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT menemukan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Manggarai. Penyimpangan yang terjadi umumnya berupa penyimpangan administratif.

Ketua DPRD Manggarai, Yoseph Bom menyampaikan hal itu saat ditemui di Ruteng, Sabtu (26/6/2010). Dia ditemui terkait LHP (laporan hasil pemeriksaan) yang baru diterima dari BPKP di Kupang, belum lama ini.
Menurut Bom, ada tiga buku besar yang diserahkan BPK sebagai hasil rekomendasi pemeriksaan APBD TA 2009. Dalam buku tersebut dicantumkan item-item pemeriksaan, temuan dan rekomendasi yang harus diselesaikan pemerintah setempat.
"Saya sedang membaca seluruh materi laporan hasil audit BPK NTT. Ada penyimpangan tapi belum tahu persis nilai atau jumlah penyimpangan keuangan yang ada," katanya.
DPRD, katanya, akan menyurati Bupati Manggarai untuk menyelesaikan rekomendasi BPK NTT selama kurun waktu 60 hari.
Dia menyebutkan, salah satu penyimpangan yang disampaikan Ketua BPK NTT, Rudy Sinaga, adalah banyak instansi yang tidak memiliki laporan keuangan. "Pemeriksaan BPK merupakan kegiatan pemeriksanaan yang rutin. Karena itu, penyelesaian terhadap temuan dan rekomendasi ada dalam koridor pemerintahan dan rekomendasi itu harus ditindaklanjuti pemerintah," katanya.
Sebelumnya Wakil Bupati (Wabup) Manggarai, Dr. Deno Kamelus menjelaskan setiap temuan BPK diberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menyelesaikan.
Apabila direkomendasinya harus diperbaiki adminisitrasi laporan keuangannya maka pemerintah akan menindaklanjuti rekomendasi itu. Demikian pun rekomendasi terkait penyimpangan keuangan negara maka harus dikembalikan ke kas negara. (lyn)

LAGU INDO-BARAT

1. Bad Man