Sunday, July 4, 2010

KEHIDUPAN WAE REBO

Oleh Catherine Allerton
Dikutip langsung dari bonus majalah National Geographic Indonesia edisi Desember 2008 : Ekologi dan Budaya Flores Barat.


Wae Rebo adalah satu-satunya desa yang mempertahankan contoh asli rumah bundar beratap jerami (mbaru niang) di seluruh Manggarai. Masyarakat setempat harus disiapkan agar sanggup menerima begitu banyak kedatangan tamu jauh – selain upaya promosi yang intensif.

Amé (Bapak) Huber adalah orang tua yang pemalu dan pendiam. Dia saudara ayah angkat saya dan bertetangga dengan rumah saya di Wae Rebo. Selama bertahun-tahun, sambil ditemani bergelas-gelas kopi manis, dia mengajari saya tentang tanah ini, serta hubungannya dengan masyarakatnya dan kesehatan mereka. Saat saya membawa si sulung, Olive, ke desa itu pada 2005, Amé Huber mengadakan upacara kecil di depan rumahnya. Dia memberi sesajen telur sebagai “tuak” kepada arwah leluhur, meminta mereka menjaga Olive agar selalu sehat dan selamat. Malangnya, pada Juli 2008 Amé Huber meninggal, dan masyarakat Wae Rebo kehilangan salah satu sesepuh mereka yang paling berilmu. Saya ingin mencoba memahami makna kehidupan di Wae Rebo bagi Amé Huber dan sekaligus mengenang sang bapak.

Wae Rebo, sebuah desa dataran tinggi di Manggarai bagian selatan, terletak jauh dari kota Ruteng. Setelah empat jam terguncang-guncang di dalam bus atau truk dari Ruteng, pengunjung tiba di desa pesisir Dintor. Dari sini, jalan menanjak ke dalam pulau, melintasi petak-petak sawah di Sebu dan beberapa desa dataran rendah, sebelum sampai ke Denge. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki, menembus pohon kelapa dan cengkih, meneberangi Sungai Wae Lomba, lalu mendaki jalan curam ke dalam hutan. Tiga atau empat jam setelah meninggalkan Denge, pengunjung berbelok. Dari Ponto Nao, mulai terlihat pusat Wae Rebo, sekumpulan rumah yang dibangun berdekatan di tanah desa yang terletak dalam lembah yang dikelilingi gunung-gemunung. Susunan pegunungan ini membuat beberapa orang berkata kepada saya bahwa hidup di Wae Rebo laksana “hidup di dalam panci”


Saya mulai mengunjungi Wae Rebo sejak 1997 dalam rangka melakukan penelitian antropologi, dan tinggal berwama masyarakat itu selama dua tahun. Sawa mewawancarai tu’a gendang (ketua gendang), pemimpin upacara masyarakat, dan tu’a golo (kepala kampung), pemimpin politik. Kedua orang ini memiliki banyak pendapat dan pengetahuan menarik mengenai sejarah dan masa depan Wae Rebo. Namun karena sebagai antropolog saya meyakini bahwa “budaya” juga berarti cara orang bergurau, makan, tidur, atau merawat bayi di samping pembicaraan formal tentang adat. Saya juga sering melewatkan waktu duduk dan mengobrol dengan lelaki, perempuan, dan anak-anak biasa. Dari mereka lah, saya banyak tentang cara menjalani hidup yang baik di Manggarai.


Wae Rebo adalah satu-satunya desa yang mempertahankan contoh asli rumah bundar beratap jerami (mbaru niang) di seluruh Manggarai. Meskipun dulu bertebaran di seluruh wilayah Manggarai, rumah semacam ini sudah punah sebelum awal 1970-an, ketika kebijakan negara mendorong perpindahan desa gunung ke dataran rendah, dan pembangunan rumah kecil berbentuk petak. Bertahannya rumah niang ini tentu saja berkaitan dengan letak Wae Rebo sebagai desa yang relatif terpencil pada masa sekarang ini.

Untuk alasan yang tidak jelas, tetapi berkaitan baik dengan keterpencilan Wae Rebo maupun kekuatan perlindungan arwah leluhur dan penunggu tempat itu, masyarakat Wae Rebo menolak meninggalkan dataran tinggi itu. Saat ini warga Wae Rebo tinggal baik di dataran tinggi maupun rendah di Kombo. Bahkan, sebagian besar waktu mereka dilewatkan untuk melintasi hutan di antara kedua tempat itu dan mereka bergurau bahwa, saat bergerak antara dataran tinggi dan rendah, mereka seperti “orang main ayunan”. Mereka pergi ke Wae Rebo untuk menhadiri upacara besar, memanen kopi, atau membuka ladang baru. Mereka kembali ke Kombo dan dataran rendah untuk ke pasar dan gereja, memanen kemiri, atau menyiangi sawah.


Selama bertahun-tahun, Wae Rebo menerima sejumlah kecil kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara yang tertarik oleh latar pegunungaan dan rumah niang. Bahkan, untuk menggalakkan wisata budaya ke desa itu, pada 1999 Bupati Manggarai saat itu mensponsori pembangunan kembali “rumah gendang” Wae Rebo dalam bentuk rumah niang yang bundar. “Rumah gendang” Manggarai adalah milik bersama suatu marga, dan namanya berasal dari gendang pusaka yang tergantung di tiang utama rumah. Di Wae Rebo – Kombo, masyarakatnya merupakan anggota marga yang sama, keturunan nenek moyang pendiri desa itu, Empo Maro, dan memiliki pantangan makan yang sama (musang), karena itu, desa itu hanya punya satu rumah gendang.


Ironi tindakan pemerintah setempat, yang dulu menganjurkan meninggalkan rumah niang tapi kini malah mensponsori pembangunan ulangnya, tak luput dari pengamatan penduduk desa. Seorang wanita mengeluh, “Niang, niang, niang terus... mengapa semua orang ini tertarik pada niang?” Namun, sebagian besar orang menyambut baik proses rekonstruksi ini dan minat orang luar pada desa mereka. Pembangunan rumah gendang baru melibatkan banyak upacara menarik. Tiang tengah (ngando) rumah baru itu disambut bak pengantin baru, dengan permainan gong, dan barisan wanita berpakaian adat lengkap dengan jamang yang indah. Tiang rumah itu dianggap sebagai “pengantin gunung”, dan begitu dia tiba di tanah desa, ruhnya dipulangkan ke gunung.


Mengingat Wae Rebo dan Kombo adalah dua tempat dengan masyarakat yang sama, tak mungkin memahami kehidupan di Wae Rebo tanpa menyertakan kehidupkan di Kombo. Hubungan antara kedua tempat inilah yang biasanya tidak diketahui wisatawan. Beberapa keluarga membagi anggota keluarganya di kedua tempat itu, pasangan paro baya tinggal di Kombo bersama anak sekolah yang masih kecil, sementara orangtua sang suami tinggal di Wae Rebo bersama anak usia belasan dan dewasa muda. Namun, walau ada hubungan seperti ini, Wae Rebo dan Kombo memiliki suasana dan arti yang sangat berbeda.


Sebagai tempat leluhur yang tua, tanah desa Wae Rebo memiliki beberapa panggung batu, termasuk liké yang mengesankan di depan rumah gendang, dan sompang yang bundar. Warga Wae Rebo berkisah tentang bagaimana punggung batu ini dibangun dengan bantuan penunggu hutan atau darat. Jin ini mirip manusia cantik, memiliki rambut hitam yang sangat panjang, tetapi berjari enam di setiap tangan dan kaki. Jin darat mampu mengangkat batu raksasa dengan satu tangan secara mudah, dan karenanya mempercepat pembangunan panggung batu itu. Setelah membangun panggung, pesta besar diselenggarakan di dalam rumah gendang, dengan perang cambuk sasi dan menabuh lagu (mbata)


Meskipun sering dituturkan secara panjang lebar sebagai hiburan, kisah ini tetap menjadi lambang misteri asal usul panggung batu Wae Rebo, dan pemahaman bahwa manusia berbagi dunia dengan berbagai jin sakti. Seperti sebagian besar orang Flores, penduduk Wae Rebo beragama Katolik, tetapi mereka tetap mengadakan upacara korban untuk arwah leluhur dan jin tanah, dan menafsirkan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu disebabkan oleh jin yang konon “hidup bersama kita serapat daun jagung dan tongkol jagung”. Ketika rumah gendang lama Wae Rebo diruntuhkan, seekor bayi musang ditemukan suatu pagi di perapian lamanya. Saat mendengar ini, teman saya berkata kepada saya, “bagus para leluhur datang mengunjungi kami”. Di masa lalu, leluhur Wae Rebo datang ke desa ditemani seekor musang, dan karenanya musang dipandang sebagai leluhur dan tidak boleh dimakan. Saat pembangunan rumah gendang yang baru, para leluhur dianggap senantiasa hadir, dan anak kecil dijauhkan dari halaman desa, takut kenakalan mereka dihukum oleh leluhur, dengan menjadikan anak-anak tidak sehat.


Berlawanan dengan Wae Rebo, Kombo dibangun di tanah yang disumbangkan oleh sebuah desa lain. Karenanya desa itu tidak memiliki arwah leluhur Wae Rwbo, meskipun orang berkata bahwa para leluhur ini (empo) dapat datang ke Kombo untuk acara-acara penting. Pertemuan di Kombo dicanangkan dengan derak kentungan bambu, bukan memukul gong. Karena dibangun di tanah leluhur desa lain, Kombo tidak memiliki rumah gendang, dan karenanya tak dapat mengadakan penti, ritual tahun baru yang penting. Selama masa penti, hampir semua orang datang dari dataran rendah ke Wae Rebo.


Karena hanya Wae Rebo yang memiliki rumah gendang dan dapat mengadakan penti, orang berkata bahwa hanya wae Rebo yang merupakan “desa” sungguhan (béo). Kombo digambarkan sebagai “pondok monyet” atau hékang- kodé, jenis hunian sementara yang dibangun di ladang, yang dipakai orang untuk menakut-nakuti monyet dan burung agar tidak memakan tanaman. Meskipun orang mengadakan beberapa ritual rumah di dataran rendah, tidak ada ritual pertanian yang diadakan di sawah.


Saya diberitahu bahwa ladang di Wae Rebo harus ditanam secara berkala “kalau-kalau tanahnya menangis”. Saya juga diberitahu bahwa jika pondasi untuk rumah baru digali tanpa lebih dulu mengadakan ritual yang sesuai, tanah akan menjerit, “apa yang kau lakukan? Kenapa kau melukaiku?” Karenanya tanah di Wae Rebo itu dalam banyak segi mirip sosok manusia, memiliki pikiran dan emosi sendiri. Ketika saya menanyai pemimpin ritual Wae Rebo apakah tanah benar-benar dapat berbicara seperti ini, dia menjawab dengan menggebu :


“dia dapat berbicara. Nafsunya. Nafsu tanah ini....jangan mau dibilang orang, bahwa tanah ini tidak memiliki nafsu...tanah punya.”


Nafsu atau kehendak tanah inilah yang terkait dengan kebutuhan mengadakan ritual, terutama ritual pertanian berskala besar yang sering digambarkan sebagai “yang diinginkan tanah”. Nafsu ini juga terkait dengan semacam “energi tanah” (ghas de tana) misterius yang dapat menyebabkan penyakit atau musibah pada manusia. Orang sering membicarakan kematian seorang pejabat pemerintah pada 1960-an setelah dia kembali ke Ruteng, setelah berusaha membujuk warga Wae Rebo untuk meninggalkan desa gunung mereka. Menurut mereka, kematiannya bukan kecelakaan. Dia telah menyinggung “energi tanah”.


Sesepuh Wae Rebo sadar bahwa di banyak desa lain di Manggarai, ritual korban sudah ditinggalkan, atau diubah sehingga tak ada lagi menyertakan acara melempar makanan untuk leluhur. Namun, pemimpin ritual Wae Rebo dengan teguh menentang semua tekanan untuk mengubah praktik ritual. Baginya, ritual leluhur terkait erat dengan nama tempat-tempat desa maupun kesehatan orang yang masih hidup. Dia pernah menguraikan kepada saya tentang suatu rapat Gereja dulu, saat seorang pendeta dan beberapa guru mengusulkan untuk mendirikan “organisasi Katolik” sejati yang menuntut diakhirinya beberapa praktik ritual, seperti melempar makanan. Pemimpin ritual ini menggambarkan perlawanannya terhadap gerakan itu kepada saya.


Sejak 1997, ketika saya pertama mengunjungi Wae Rebo – Kombo, masyarakatnya telah mengalami beberapa perubahan. Pada 2001, badai meniup roboh salah satu rumah niang lama di tanah desa. Sekarang hanya tersisa dua niang asli, mungkin tahun 1920-an, dan orang-orang cemas tentang merawatnya di masa depan, saat ilalang untuk atap semakin sulit ditemukan. Sementara masyarakat berkembang, dan kopi menjadi semakin penting bagi ekonomi setempat, semakin banyak rumah dibangun di Wae Rebo, kebanyakan di atas bukit, jauh dari alun-alun desa utama. Telepon seluler sudah mencapai daerah ini dan gunung Poso Roko yang harus didaki untuk mencapai Wae Rebo kini disebut sebagai tempat terbaik untuk mendapatkan sinyal bagus. Pada awal tahun ini, jalan dataran rendah yang tadinya berbatu yang melintasi Kombo pun diaspal. Kini, dua ojek motor bolak-balik di jalan ini, membawa penumpang turun ke pasar atau ke sawah di Sebu. Orang-orang di Kombo mencemaskan keselamatan anak-anak kecil, yang terbiasa bermain di jalan batu itu. Dulu truk melaju sangat lambat dan kedatangannya terdengar jelas, kini motor melaju terlalu cepat melintasi desa.


Masyarakat itu juga telah berubah. Beberapa pemuda telah bermigrasi untuk bekerja di Bali atau Malaysia, pemudi menikah dengan lelaki dari desa lain, banyak orang meninggal, dan bayi baru dilahirkan. Orang masih mengutamakan jumlah anak yang banyak, meskipun karena semakin banyak perempuan yang menggunakan kontrasepsi untuk mengatus jarak kehamilan, ini sekarang biasanya berarti lima atau enam, tidak lagi sepuluh atau dua belas anak (seperti di masa lalu). Usai pasangan menikah di gereja, ritual pernikahan besar bernama wagal biasanya diselenggarakan di desa mempelai perempuan. Lalu mempelai perempuan berpamitan dengan rumah kelahirannya dengan bersimbah air mata, dan diantar ke desa barunya oleh beberapa kerabatnya sendiri, teman-teman, dan kerabat suami barunya. Perjalanan ini disebut padong, dan sebagian karena pentingnya perjalanan inilah orang menyebut pernikahan antara keluarga sebagai “jalan”. Saat anda berjalan kaki di hutan, orang menunjukkan arah ke berbagai desa ke barat sebagai “jalan Edis” atau “jalan Wihel”.


Pada akhir perjalanan padong, mempelai perempuan dijemput di perbatasan desa mempelai lelaki oleh sekelompok perempuan yang menabuh gong, yang datang untuk “menyambut gadis muda itu”, sebagaimana tiang tengah rumah gendang juga disambut di Wae Rebo. Mempelai perempuan lalu didandani oleh para wanita ini dan diarak ke rumah mempelai pria, di mana dia menandai identitas barunya dengan “berjalan diatas telur” (wegi ruha) yang disimpan dala daun khusus di dasar tangga rumah. Lalu malam itu, setelah pasangan itu telah disambut warga desa, ritual kecil dan akrab diadakan di luar kamar baru pasangan itu. Ini disebut “darah di kaki” (dara wa’i), karena termasuk menandai jempol kaki kedua mempelai dengan darah dari ayam yang dikorbankan.


Saya menggambarkan acara-acara pernikahan karena, dalam kehidupan sehari-hari, orang di Wae Rebo-Kombo sering membicarakan hubungan pernikahan atau “jalan” antara keluarga. Dalam hal ini, mereka mirip dengan sebagian besar masyarakat Manggarai, yang menganggap penting suatu aturan tentang siapa yang boleh atau tidak boleh dinikahi. “Aturan” pernikahan terpenting adalah orang tak boleh tertukar antara kepada kelompok mana keluarganya menerima istri. Memberikan istri kepada suatu kelompok yang pernah memberikan istri kepada kita itu dianggap inses dan dilarang. Sebaliknya, “mengikuti jalan” pernikahan sebelumnya dipandang benar dan baik.

Pernikahan seorang wanita dengan putra saudari ayahnya disebut sebagai tungku atau pernikahan “bergabung”, karena si pengantin perempuan “mengikuti jalan” yang dibuat bibinya. Meskipun Gereja Katolik telah berusaha melarang bentuk pernikahan sepupu ini, orang belum berhasil diyakinkan untuk memandang hal ini sebagai masalah. Sejak saya memulai kerja lapangan di Wae Rebo-Kombo pada 1997, setidaknya empat gadis telah menikahi sepupunya dalam pernikahan tungku. Semuanya wanita berpendidikan, dan dua di antaranya pernah bekerja di toko di Flores.
Hubungan antara suatu keluarga dengan kelompok-kelompok yang terhubung melalui pernikahan juga ditekankan pada saat kematian. Pada September 2008, saya kembali ke Wae Rebo untuk pertama kalinya setelah tiga setengah tahun, untuk menghadiri ritual kematian terakhir (kélas) Amé Huber. Dalam kélas, babi dikorbankan untuk almarhum, menandai “akhir” resmi kehidupannya di desa itu. Mengumpulkan semua kerabat dari berbagai desa adalah cara untuk merayakan berbagai hubungan yang melibatkan Amé Huber, dan cara yang paling sesuai untuk “mengakhiri” keterlibatannya dengan orang yang masih hidup.


Kini Amé Huber akan menjadi seorang leluhur, mendiami pegunungan, makam, dan panggung batu di rumah gunungnya. Dengan cara ini, dia akan menyatu dengan alam Wae Rebo. Saat mengunjungi Wae Rebo, wisatawan mungkin melihat pegunungan itu sebagai latar yang indah untuk rumah niang. Namun bagi warga Wae Rebo, tak ada perbedaan jelas antara lingkungan “alam” dan “budaya”. Panggung batu, sungai, ladang, pohon, dan rumah, hubungan dengan semua entitas ini harus tetap dijaga. Inilah yang menjamin kesehatan dan kebahagiaan di masa mendatang.

7 comments:

  1. ole... dia keta pemandangan beo Wae Rebo hitu e
    semoga seindah itu selamanya

    ReplyDelete
  2. wae rebo adlh stu2x potensi yg haru di jaga,di pelihara, dimkembangkan n dipulikasikan ke dunia luar..jgn biarkan itu larut di telan jaman..karena kebudayan wae rebo adlah bagian dari identitas orng manggarai yg masih terjaga aslinya...

    ReplyDelete
  3. semoga tetap terjaga dan tak tergerus zaman....

    ReplyDelete
  4. Sebagai warga asli Manggarai, saya merasa malu karena tidak pernah mengunjungi semua tempat yang indah di Manggarai. Liburan selanjutnya akan mendatangi semuanya, masa daerah kelahiran hanya bisa dinikmati di TV dan sepertinya tempat ini masuk ek acara Koper dan Ransel Transtv juga hari Sabtu tgl 31 Juli 2010. Saya bangga dengan keberadaan tempat ini tetap dipertahankan.

    ReplyDelete
  5. jadi kalo saya mau ke desa wae rebo gimana caranya ya? mohon infonya :) thanks

    ReplyDelete
  6. salut atas perjuangan warga wae rebo utk tetap jaga tradisi adat desanya.

    ReplyDelete
  7. kenarin saya sempet menoton kehidupan masyarakat di sana di tv,,, saya kagum ma masyarakat disana yg masi melestarikan arsitektur budaya mreka,,,, dimana di kampung" laina sudah menganut arsitektur moderen,,,,,

    ReplyDelete

LAGU INDO-BARAT

1. Bad Man